POLIGAMI


SATU AMALAN DENGAN NIAT GANDA

Muqaddimah

Niat merupakan sesuatu yang penting dalam menentukan suatu amalan seseorang, apakah nantinya akan bernilai sebuah ibadah ataukah hanya sekedar kebiasaan dan rutinitas biasa, niat juga bisa menentukan besar kecilnya pahala seseorang dalam melakukan sebuah amal, oleh karena itu kita dituntut untuk memperbaiki niat kita masing-masing.

Betapa besarnya keagungan niat ini sampai Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda, ”manusia akan dibangkitkan (pada hari kiamat) sesuai dengan niat mereka masing-masing” hadits ini diriwayatkan oleh imam Ibnu majah dari sahabat Abu Hurairah dan Jabir bin Abdullah radliyalllahu’anhuma, tidak hanya itu, para fuqoha’ menjadikannya sebagai salah satu syarat atau rukun untuk keabsahan kebanyakan amalan ibadah.

Hebatnya lagi hadits tentang niat diriwayatkan oleh enam penulis hadits terkenal kecuali imam Malik, bahkan dikatakan oleh para imam-imam madzhab bahwa niat adalah sepertiga dari pokok ilmu.

Namun bagaimanakah jika suatu amalan ibadah dilakukan dengan beberapa niat dan kepentingan? Mungkin orang yang melakukannya mengetahui akan keutamaan niat ini namun apakah yang demikian tersebut dibenarkan menurut para ulama? Sehingga nantinya orang yang melakukannya akan mendapatkan pahala yang berlipat-lipat meskipun yang ia lakukan hanya satu amalan saja.

Satu amalan dengan niat ganda

Para ulama fiqih, usul fiqih dan ulama hadits banyak membahas hal ini dengan berdasarkan hadits umar bin khattab radliyallahu’anhu yang sangat terkenal.

Kalau salah satu dari dua niat tersebut adalah untuk kepentingan dunia maka hukumnya tidak diperbolehkan oleh para ulama seperti orang yang meniatkan puasanya selain untuk beribadah juga ia niatkan untuk tujuan kesehatan maka ini tidak diperbolehkan namun niat yang kedua hendaknya ia jadikan hanya sebagai hikmah dan efek positif dari puasa tersebut bukan menjadi niat yang kedua, hal ini sebagaimana  fatwa syaikh ‘Utsaimin[1], meskipun ada yang diperbolehkan dengan syarat kepentingan tersebut untuk kemaslahatan umat yang tentunya ada kaitannya dengan urusan akherat seperti seorang syaikh yang memperbagus shalatnya didepan para jama’ahnya untuk menunjukkan tata cara shalat yang benar.

Namun bagaimana halnya jika dua niat tersebut adalah sama-sama ibadah karena Allah seperti orang yang melakukan shiyam kamis dengan niat menjalankan sunnah dan untuk mengqadla’ shiyam Ramadan atau orang yang melakukan shalat dua rakaat dengan niat shalat tahiyyatul masjid dan shalat rawatib.

Pendapat para ulama

Para ulama sepakat untuk menentukan dan menetapkan niat pada ibadah-ibadah yang fardlu, Syafi’iyyah dan Hanabilah menambahkan, begitu juga pada shalat-shalat sunnah rawatib yang tidak mutlak, dan shalat-shalat yang dilakukan ada karena sebab tertentu seperti shalat dluha dan shalat tahiyyatul masjid.[2]

Jika sebuah amalan diniatkan untuk melaksanakan yang wajib dan juga untuk menjalankan yang sunnah maka hukumnya boleh dan akan mendapatkan pahala keduanya seperti shalat dengan niat menunaikan kewajiban dan sunnah tahiyyatul masjid maka ia akan mendapatkan keduanya, begitu juga dengan mandi karena janabah sekaligus untuk mandi jum’at[3], puasa qadlo’, nadzar, kafarah bersamaan dengan niat puasa arafah meskipun penggabungan niat melakukan amalan yang wajib dan yang sunnah ini ada yang mengatakan tidak diperbolehkan dan hanya mendapatkan pahala yang wajib saja bahkan niat untuk melaksanakan yang sunnah tadi bisa membatalkan niat yang wajib contohnya orang yang mengeluarkan hartanya dengan niat zakat dan shadaqah maka ia hanya mendapatkan pahala shadaqah dan niat zakatnya batal.[4]

Fatwa lajnah daimah li buhuts ilmiyyah wal ifta’ mengatakan, “ bahwa boleh hukumnya menggabungkan niat untuk melakukan shalat wajib dengan sunnah tahiyyatul masjid dengan niat satu, berbeda halnya dengan menggabungkan niat untuk melakukan suatu kewajiban dengan kewajiban yang lain maka hal itu tidak diperbolehkan menggabungkannya dengan niat satu”.[5]

Sedangkan amalan yang dilakukan dengan dua niat yang keduanya sama-sama sunnah adalah boleh seperti mandi dengan niat untuk shalat Ied dan jum’at, shaum ‘Arafah bersamaan dengan shaum senin dan kamis, shalat tahiyyatul masjid dan shalat rawatib qabliyah, berbeda halnya dengan dua amalan sunnah yang tidak bisa digabungkan ( karena sebenarnya waktu pelaksanaannya berbeda ) contohnya shalat tahiyyatul masjid dengan qadla’ sunnah fajar, shalat Ied dengan shalat kusuf.[6]

Adapun fatwa Lajnah daimah lil buhuts wal ifta’ mengatakan, “ bahwa jika seorang muslim berwudlu’ lalu memasuki masjid setelah mendengar adzan dluhur kemudian shalat dua raka’at dengan niat shalat tahiyyatul masjid, shalat sunnah wudlu’, dan shalat sunnah qabliyah dluhur maka ia akan mendapatkan pahala ketiganya berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam, ”Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung pada niatnya, dan sesunguhnya bagi setiap orang apa yang ia niatkan…” hanya saja disunnahkan baginya untuk menambah dua raka’at lagi untuk menyempurnakan shalat sunnah rawatib qobliyah dluhur karena Rasululllah shallallu’alaihi wasallam senantiasa menjaga shalat sunnah empat raka’at sebelum dluhur.[7]

Khatimah

Dari uraian diatas kita dapat mengambil sikap yang hati-hati dengan cara meniatkan segala amalan yang akan kita kerjakan dan tidak menggabungkan dua amalan dalam satu waktu kecuali yang telah disepakati oleh para ulama akan kebolehannya.

 


[1] Al-qoulu al-mufid fi syarhi kitabu at-tauhid 2/137 dan menurut Ibnu Abdussalam ia tidak mendapatkan pahala apa-apa baik dua niat tadi seimbang ataupun niat akheratnya lebih dominan, sedangkan menurut imam Al-Ghazali tergantung kepada si pelaku jika niat untuk dunia lebih dominan atau seimbang maka ia tidak mendapatkan pahala sedangkan jika niat untuk akheratnya lebih dominan ia mendapatkan pahala sesuai dengan kadar niatnya (al-asybah wa an- nadla’ir fil fiqhi lis Suyuti hal 34 )

[2] Al-wajiz fi idlahi qawaidi al-fiqhi al-kulliyyah hal.50

[3] menurut Imam an-Nawawi : pahala mandi jum’at tidak bisa didapatkan menurut pendapat yang rajih karena mandi jum’at bernilai ta’abbud dan bukan hanya sekedar membersihkan  badan tetepi harus di niatkan berbeda urusannya dengan tahiyyatul masjid ( Fathul bari 1/22 syarah hadits no.1 )

[4] Al-asybah wa an-nadla’ir fi qawaidi wa furu’i fiqhi asy-syafi’iyyah  hal.35-36

[5] Fatawa al-lajnah ad-daimah li al-buhuts al-ilmiyah wa al-ifta’ 7/249

[6] Al-asybah wa an-nadla’ir fi qawaidi wa furu’i fiqhi asy-syafi’iyyah  hal.37

[7] Fatawa al-lajnah ad-daimah li al-buhuts al-ilmiyah wa al-ifta’ 7/248

Tinggalkan komentar