ABDULLOH BIN UMAR


 

Perang Khandak berkecamuk. Beredar kabar, siapa saja lelaki berusia 15 tahun ke atas berhak ikut berjihad. Mendengar itu seorang pemuda berseri-seri. Usianya saat itu masuk 15 tahun. Ia segera mendaftarkan diri. Itulah idamannya selama ini: berjihad bersama Rasulullah. Keikutsertaannya dalam berbagai medan jihad tak pernah lepas dalam sejarah hidup pemuda itu. Saat perang membuka kota Mekah (Futuh Makkah), ia berusia 20 tahun dan termasuk pemuda yang menonjol di medan perang. Dialah, Abdullah ibnu Umar, atau Ibnu Umar.[1]

š  ›

  • Nasabnya

Al Imam Al Qudwah Syaikhul Islam, Abu Abdurrahman Al Qursyi Al ‘Adawiy Al Makkiy kemudian Al Madaniy.[2]

  • Kelahirannya

Namanya tak kalah terkenal dibanding ayahandanya, Umar ibn Khattab. Ia lahir di Makkah, 10 tahun sebelum Hijrah atau 612 Masehi.[3] Masuk Islam ketika masih kecil, kemudian hijarah bersama ayahnya sebelum masuk usia baligh, dan beliau masih kecil ketika terjadi perang uhud[4].

  • Keluarganya

Ayah beliau adalah Abu Hafsah Al Faruq Umar bin Khaththab bin Nufail bin Abdul ‘Uzza bin Rabah bin Qirath bin Razah bin Adi bin Ka’ab bin Lu’ay Al Qursyi Al ‘Adawiy Al Makkiy kemudian Al Madaniy.[5]

Istri-istri dan anak-anak beliau:

Shafiyyah binti Abu ‘Ubaid bin Mas’ud Ats Tsaqafi, melahirkan Abu Bakar, Waqid, Abdullah, Abu ‘Ubaidah, Umar, Hafshah dan Saudah.

Ummu Alqamah Al Muharibiyah, melahirkan Abdurrahman, dan dengannya ia dijuluki.

Dari budaknya, melahirkan Salim, ‘Ubaidullah dan Hamzah.

Dari budaknya yang lain, melahirkan Zaid dan ‘Aisyah.

Dari budaknya yang lain, melahirkan Abu Salamah dan Qilabah.

Dan dari budaknya yang lain, melahirkan Bilal. Maka jumlah seluruh putra beliau adalah enam belas putra.[6]

  • Kehidupan beliau

Ia termasuk salah seorang dari empat Ibadillah; tiga yang lainnya ialah Abdullah
bin ‘Abbas, Abdullah bin Amru bin ‘Ash, dan Abdullah bin Zubair.

Beliau berperang ke Syam, Iraq, Bashrah dan Persia.

Diriwayatkan dari Hajjaj bin Arthah, dari Nafi’, bahwasannya Ibnu Umar perang tanding dengan seorang laki-laki ketika memerangi penduduk Iraq, maka beliau dapat membunuhnya dan mengambil sulbinya.[7]

Ubaidullah bin Umar meriwayatkan dari Nafi’, bahwasannya Ibnu Umar menyemir jenggotnya dengan warna kuning.[8]

Mujahid berkata, “Ibnu Umar menyaksikan Fathu Makkah dan baliau ketika itu berumur dua puluh tahun.”

  • Keutamaan beliau

Keistimewaan- keistimewaan yang memikat perhatian kita terhadap Abdullah bin Umar a saya ini tidak sedikit. Ilmunya, kerendahan hatinya, kebulatan tekad dan keteguhan pendiriannya, kedermawanan, keshalihan dan ketekunannya dalam beribadah serta berpegang teguhnya terhadap contoh yang diberikan oleh Rasulullah n Semua sifat dan keutamaan itu telah berjasa dalam menempa kepribadiannya yang luar biasa dan kehidupannya yang suci lagi benar…

Diperhatikannya apa kiranya yang dilakukan Rasulullah n mengenai suatu urusan, mak ditirunya secara cermat dan teliti, misalnya Rasulullah pernah melakukan shalat di suatu tempat, maka Ibnu Umar melakukannya pula di tempat itu. Di tempat lain umpamanya Rasulullah n pernah berdo`a sambil berdiri, maka Ibnu Umar berdo`a di tempat itu sambil berdiri pula. Bahkan ia tak lupa bahwa unta tunggangan Rasulullah n berputar dua kali di suatu tempat di kota Makkah sebelum Rasulullah turun dari atasnya untuk melakukan shalat dua raka’at, walaupun barangkali unuta itu berkeliling dengan suatu maksud untuk mencari tempat baginya yang cocok untuk bersimpuh nanti. Tapi Abdullah Ibnu Umar baru saja sampai di tempat itu, ia segera membawa untanya berputar dua kali kemudian baru bersimpuh, setelah itu ia shalat dua raka’at, sehingga persis sesuai dengan perbuatan yang Rasulullah n yang telah disaksikannya.

Dan karena kegemarannya yang kuat tak pernah luntur dalam mengkuti sunnah dan jejak Rasulullah, maka Ibnu Umar bersikap hati-hati dalam penyampaian hadits dari Rasulullah n. Ia tak hendak menyampaikan sesutau hadits dari padanya, kecuali ia ingat seluruh kata-kata Rasulullah n.

Orang-orang semasa dengannya mengatakan: “Tak seorangpun diantara para sahabat-sahabat Rasulullah n yang lebih berhati-hati agar tidak terselip atau terkurangi sehurufpun dalam menyampaikan hadits dari Rasulullah n sebagai halnya Ibnu Umar.”

Demikian pula dalam berfatwa, ia amat berhati-hati dan lebih suka menjaga diri. Pada suatu hari seoarang penanya datang kepadanya untuk meminta fatwa. Dan setelah orang itu menyampaikan pertanyaan, Ibnu Umar menjawab, “Saya tidak tahu tentang masalah yang anda tanyakan ….” Orang itu pun pergi, dan baru beberapa langkah ia meninggalkannya.

Ia tidak hendak berijtihad untuk memberikan fatwa, karena takut akan berbuat kesalahan. Dan walau pun pola hidupnya mengikuti ajaran dari suatu agama yang agung, yang menyediakan satu pahala bagi orang-orang yang bersalah dan dua bagi orang-orang yang benar ijtihadnya, tetapi demi menghindari berbuat dosa menyebabkannya tidak berani untuk berfatwa.

Juga ia menghindari dari jabatan qadhi atau kehakiman, padahal jabatan ini merupakan jabatan tertinggi diantar kenegaraan dan kemasyarakatan, disamping menjamin pemasukan keuangan, diperolehnya pengaruh dan kemuliaan. Apa perlunya kekayaan, pengaruh dan kemuliaan itu bagi Ibnu Umar.

Pada suatu hari Khalifah Utsman RA memanggilnya dan meminta kesediannya untuk memegang jabatan kehakiman itu, tetapi ditolaknya. Utsman mendesaknya juga, tetapi Ibnu Umar bersikeras pula atas penolakannya. “Apakah anda hendak mentaati perintahku?”Tanya Utsman. Jawab Ibnu Umar, “Sama sekali tidak, hanya saya dengar para hakim ada tiga macam: pertama hakim yang mengadili tanpa ilmu, maka ia dalam neraka; kedua yang mengadili berdasarkan nafsu, maka ia juga dalam neraka; dan ketiga yang berijtihad sedang hasil ijtihadnya betul, mak ia dalam keadaan berimbang, tidak berdosa tetapi tidak pula memperoleh pahala. Dan saya memohon atas nama Allah memohon kepada anda agar dibebasakan dari jabatan itu.”

Khalifah Utsman menerima keberatan itu setelah mendapat haminan bahwa ia tidak akan menyampaikan hal itu kepada siapapun juga. Sebabnya ialah karena Utsman menyadari sepenuhnya kedudukan Ibnu Umar dalam hati masyarakat, karena jika orang-orang yang taqwa lagi shalih mengetahui keberatan Ibnu Umar menerima jabatan tersebut pastilah mereka akan mengikuti langkahnya, sehingga khalifah takkan menemukan seorang taqwa yang bersedia menjadi qadhi atau hakim.

Boleh dikata bahwa Ibnu Umar adalah “Penyerta Malam” yang biasa diisinya dengan melakukan shalat, atau “Kawan Dinihari” yang dipakainya untuk menangis dan memohon diampuni. Di waktu remajanya ia pernah bermimpi yang oleh Rasulullah dita’birkan bahwa qiyamul lail itu nantinya akan manjadi campuran tumpuan cita Ibnu Umar, tempat tersangkutnya kesenangan dan kebahagiaannya. Nah, marilah kita dengar ceritanya itu:

“Dimasa Rasulullah saya bermimpi seolah-olah ditanganku ada selembar kain perma- dani. Tempat mana saja di surga, maka permadani itu akan menerbangkanku kesana. Lalu tampak pula dua orang yang mendatangiku dan ingin membawaku ke neraka. Tetapi seorang Malaikat menghadang mereka, katanya: jangan ganggu! Maka kedua orang itu pun meluangkan jalan bagiku. Oleh Hafsah, yaitu saudaraku, mimpi itu diceritakan kepada Rasulullah n.Maka sabda Rasulullah n:

نعم الرجل عبد الله, لو كان يصلي من الليل فيكثر

Akan menjadi sebaik-baik laki-laki Abdullah itu, jika ia sering mengerjakan shalat malam dan memperbanyaknya.[9]

Maka semenjak saat itu hingga tiba kematian beliau, Ibnu Umar tidak pernah meninggalkan qiyamul lail baik diwaktu ia mukim atau musafir. Yang dilakukannya ialah shalat, membaca Al Qur`an dan banyak berdzikir menyebut nama Allah dan yang sangat menyerupai ayahnya adalah air matanya bercucuran jika mendenganr ayat-ayat dari Al Qur`an.

Berkata Ubaid bin Umair, “Pada suatu hari saya bacakan ayat berikut ini kepada Abdullah bin Umar:

y#ø‹s3sù #sŒÎ) $uZ÷¥Å_ `ÏB Èe@ä. ¥p¨Bé& 7‰‹Îgt±Î0 $uZ÷¥Å_ur y7Î/ 4’n?tã ÏäIwàs¯»yd #Y‰‹Íky­ ÇÍÊÈ 7‹Í³tBöqtƒ –Šuqtƒ z`ƒÏ%©!$# (#rãxÿx. (#âq|Átãur tAqߙ§9$# öqs9 3“§q|¡è? ãNÍkÍ5 ÞÚö‘F{$# Ÿwur tbqßJçFõ3tƒ ©!$# $ZVƒÏ‰tn ÇÍËÈ

“Maka bagaimanakah (halnya orang kafir nanti), apabila Kami mendatangkan seseorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu). Di hari itu orang-orang kafir dan orang-orang yang mendurhakai rasul, ingin supaya mereka disamaratakan dengan tanah, dan mereka tidak dapat menyembunyikan (dari Allah) sesuatu kejadianpun.”[10]

Maka Ibnu Umar menangis, hingga jenggotnya basah oleh air mata.[11]

Pada suatu hari ketika ia duduk diantara kawan-kawannya, lalu membaca:

×@÷ƒur tûüÏÿÏeÿsÜßJù=Ïj9 ÇÊÈ tûïÏ%©!$# #sŒÎ) (#qä9$tGø.$# ’n?tã Ĩ$¨Z9$# tbqèùöqtGó¡o„ ÇËÈ #sŒÎ)ur öNèdqä9$x. rr& öNèdqçRy—¨r tbrçŽÅ£øƒä† ÇÌÈ Ÿwr& `Ýàtƒ y7Í´¯»s9’ré& Nåk¨Xr& tbqèOqãèö6¨B ÇÍÈ BQöqu‹Ï9 8LìÏàtã ÇÎÈ tPöqtƒ ãPqà)tƒ â¨$¨Z9$# Éb>tÏ9 tûüÏHs>»yèø9$# ÇÏÈ

“Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Tidaklah orang-orang itu menyangka, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan, pada suatu hari yang besar, pada suatu hari yang besar.”[12]

Terus saja ia mengulang ayat

tPöqtƒ ãPqà)tƒ â¨$¨Z9$# Éb>tÏ9 tûüÏHs>»yèø9$# ÇÏÈ

“Pada suatu hari yang besar, pada suatu hari yang besar.”[13]

Sedang air matanya mengucur bagaikan hujan, hingga ia jatuh disebabkan duka dan banyak menangis.

Ia adalah seorang yang wara` dan zuhud. Ia banyak memberi karena ia seorang pemurah. Yang diberikannya ialah barang halal karena ia seorang yang wara` atau salih dan ia tidak peduli, apakah kemurahannya itu penyebab miskin karena ia zahid, tidak ada minat terhadap dunia.

Thawus berkata, “Saya tidak melihat orang yang lebih wara’ dari pada Ibnu Umar.”[14]

Ibnu Umar termasuk orang yang hidup makmur dan berpenghasilan banyak. Ia adalah seorang saudagar yang jujur dan berhasil dalam sebagian besar kehidupannya. Disamping itu gajinya dari baitul mal tidak sedikit pula. Tetapi tunjangan itu tidak sedikitpun ia simpan unutuk dirinya pribadi, tetapi dibagi-bagikan sebanyak-banyaknya kepada orang-orang miskin, yang kemalangan dan peminta-minta.

Ayub bin Wa-il Ar Rasibi pernah menceritakan kepada kita salah satu contoh kedermawanannya. Pada suatu hari Ibnu Umar menerima uang sebanyak empat ribu dirham dan sehelai baju dingin. Pada hari berikutnya Ibnu Wa-il melihatnya di pasar sedang membeli makanan untuk hewan tunggangannya secara berutang. Maka pergilah Ibnu Wa-il mendapatkan keluarganya, kemudian ia bertanya, “Bukankah kemarin Abu Abdurrahman (Ibnu Umar) menerima kiriman empat ribu dirham dan sehelai baju dingin?” “Benar”, ujar mereka.

Kata Ibnu Wa-il, “Saya melihat ia tadi di pasar membeli makanan untuk hewan tunggangannya dan tidak punya uang untuk membayarnya…”. Ujar mereka, “tidak sampai malam hari, uang itu telah habis dibagi-bagikannya. Mengenai baju dingin, mula-mula dipakainya, lalu ia pergi keluar. Tetapi ia kembali, baju itu tidak kelihatan lagi, dan ketika kami tanyakan, jawabnya bahwa baju itu telah diberikanny akepada seorang miskin…”.

Berkata Maimun bin Mahran, “Saya masuk ke rumah Ibnu Umar dan menaksir harga barang-barang yang terdapat disana berupa selimut, ranjang, tikar ….pendeknya apa juga yang terdapat disana, maka saya dapati harganya tidak sampai seratus dirham.”[15] Dan demikian itu bukan karena kemiskinan, karena Ibnu Umar adalah seorang yang kaya. Bukan pula karena kebakhilan, karena ia seorang yang pemurah dan dermawan. Sebabnya tidak lain hanyalah karena ia seorang zahid tidak terpikat oleh dunia, tidak suka hidup mewah dan tidak senang menyimpang dari kebenaran dan keshalihan dalam menempuh hidup ini.

Nafi’ berkata, “Tidaklah meninggal Ibnu Umar kecuali ia telah membebaskan seribu budak atau lebih.”[16]

Abdullah bin Umar pernah berkata, “Ya Allah, Engkau mengetahui bahwa kalau tidaklah karena takut kepada-Mu, tentulah kami akan ikut berdesakan dengan bangsa kami Quraisy memperebutkan dunia ini……”.

Seandainya ia tidak takut kepada Allah, tentulah ia akan ikut memperebutkan dunia dan tentulah ia akan berhasil. Tetapi ia tidak perlu berebutan dengan berbagai kesenangan. Adakah jabatan yang lebih menarik dari jabatab khalifah? Berkali-kali jabatan itu ditawarkan kepada Ibnu Umar, tetapi ia tetap menolak. Bahkan ia pernah diancam jika tidak mau menerimanya, tetapi pendiriannya semakin teguh dan penolakannya semakin keras lagi.

Hasan berkata, “Tatkala Utsman bin ‘Affan dibunuh orang, umat mengatakan kepada Abdullah bin Umar, “Anda adalah seorang pemimpin, keluarlah agar kami minta orang-orang untuk bai’at kepada anda!” Ujarnya, “Demi Allah seandainya dapat, janganlah walau ada setetes darah pun yang tertumpah disebabkan aku.” Kata mereka pula, “Anda harus keluar! Kalau tidak akan kami bunuh di tempat tidurmu!” Tetapi jawaban Ibnu Umar tidak berbeda dengan yang pertama. Demikianlah mereka membujuk dan mengancamnya, tetapi tak satu pun hasil yang mereka peroleh.[17]

  • Guru-guru dan murid-muridnya

Beliau adalah orang yang paling banyak meriwayatkan hadits sesudah Abu Hurairah, yaitu 2.630 hadits.

Guru-guru beliau

Beliau meriwayatkan ilmu yang banyak dan bermanfaat dari Nabi SAW dan dari ayahnya, Abu Bakar, Utsman bin ‘Affan, Ali bin Abi Thalib, Bilal bin Rabbah, Shuhaib, ‘Amir bin Rabi’ah, Zaid bin Tsabit, Zaid (pamannya), Sa’ad, Abdullah bin Mas’ud, Utsman bin Thalhah, Aslam, Hafshah (saudaranya), ‘Aisyah dan dari yang lainnya.

Murid-murid beliau

Meriwayatkan dari beliau Adam bin Ali, Aslam maula ayahnya, Ismail bin Abdurrahman bin Abi Dzuaib, Umayah bin Abdullah Al Uamawi, Anas bin Sirin, Busr bin Sa’id, Bisyr bin Harb, Bisyr bin ‘Aid, Bisyr bin Al Muhtafiz, Bakar bin Al Muzni, Bilal bin Abdullah (anaknya), Tamim bin ‘Iyadh, Hubaib bin Abi Mulaikah, Al Hasan Al Bashri, Humaid bin Abdurrahman Az Zuhr, Said bin Al Musayyib, Thawus, Ibnu Abi Mulaikah, Atha` bin Abi Rabbah, Muhammad bin Sirin, Ibnu Syihab Az Zuhri, Masruq, dan yang lainnya.

  • Wafatnya

Suatu hari dari tahun 73 H[18] ada yang mengatakan tahun 72 H/629 M, dalam usia 84 tahun.[19] Ketika sang surya telah condong ke barat hendak memasuki peraduannya, sebuah layar kapal keabadian telah mengangkat jangkar dan mulai berlayar, bertolak menuju rafiqul a’la di alam barzakh, dengan membawa suatu sososk tubuh salah seorang tokoh teladan terakhir mewakili zaman wahyu di makkah dan Madinah, yaitu jasad Abdullah bin Umar bin Khaththab.

 

 

Referensi:

 

 


[2] Siyaru A’lam An Nubala, Syamsuddin Muhammad bin Ahmad Utsman Az Zuhri,  jilid  IV,  hlm. 346

[3] Ibid.

[4] Ibid, hlm. 346., yang dinukil dari Tahdzibu At Tahdzib 5/287.

[5] Ilmu dan Ulama, Abu Bakar Jabir Al Jazairi, Pustaka Azzam: Jakarta, cet. I, 2001, hlm. 175

[6] Siyaru A’lam An Nubala, Syamsuddin Muhammad bin Ahmad Utsman Az Zuhri,  jilid  IV,  hlm. 372-373.

[7] Siyaru A’lam An Nubala, Syamsuddin Muhammad bin Ahmad Utsman Az Zuhri,  jilid  IV,  hlm. 351,  yang dinukil dari Thabaqat Ibnu Sa’d 4/170 dari riwayat Ahmad bin Abdullah bin Yunus.

[8] Ibid 4/179 dari riwayat Ubaidullah bin Musa.

[9] Siyaru A’lam An Nubala, Syamsuddin Muhammad bin Ahmad Utsman Az Zuhri,  jilid  IV,  hlm. 351, Diriwayatkan oleh Bukhari dalam At Tahajud (1121), bab (2) Fadhlu Qiyamil Laill wa Athrafuhu no. 1157, 3739, 3741, 7016, 7029, 7031; dan Muslim dalam Fadhailus Sahabah bab Fadhailu Abdullah ibnu Umar; dan Tirmidzi dalam Al Manaqib (3720), bab (44) Manaqibu Abdullah Ibnu Umar.

[10] QS. An Nisa`: 41-42.

[11] Ibid, hlm. 354, yang dinukil dari Tabaqat Ibnu Sa’ad.

[12] QS. Al Muthafifin: 1-6.

[13] 60 Karakteristik Shahabat, Khalid Muhammad Khalid, hlm. …

[14] Siyaru A’lam An Nubala, Syamsuddin Muhammad bin Ahmad Utsman Az Zuhri,  jilid  IV,  hlm. 352.

[15] Ibid, hlm,  353, yang dinukil dari Tabaqat Ibnu Sa’ad 4/165, dari riwayat Abdullah bin Ja’far.

[16] Ibid, hlm. 357, disebutkan oleh Abu Na’im di dalam Hilayatul Auliya` 1/296.

[17] 60 Karakteristik Shahabat, Khalid Muhammad Khalid, hlm. …; Siyaru A’lam An Nubala, Syamsuddin Muhammad bin Ahmad Utsman Az Zuhri,  jilid  IV,  hlm. 373, yang dinukil dari riwayat Abu Na’im di dalam Al Hilyah 1/293.

[18] Dhamrah bin Rabi’ah mengatakan Ibnu Umar wafat tahun 73 H (Siyaru A’lam An Nubala, Syamsuddin Muhammad bin Ahmad Utsman Az Zuhri, hlm. 367, yang dinukil dari Tabaqat Ibnu Sa’ad 4/187 dari riwayat Al Fadhl bin Dakiin).

[19] www.agus-haris.net/modules.php?name=News&file=article&sid=449, yang dinukil dari 1001 Kisah-Kisah Nyata, Achmad Sunarto.

Tinggalkan komentar